Saat adu penalti antara Brazil melawan Italia pada perhelatan Piala Dunia 1994, Eddward S. Kennedy dibangunkan oleh ayahnya untuk menemaninya menonton. Dia, yang mulanya tak begitu acuh dengan sepakbola, menjadi tertarik karena final tersebut.
Sejak menonton pertandingan itu, dia seperti tersadar bahwa sepakbola memiliki efek yang luar biasa bagi siapa saja yang menikmatinya. Mengutip Miftakhul FS, sepakbola adalah lingua franca bagi warga dunia yang terpisah ras, agama, ataupun etnis.
Dengan sepakbola, dia mencintai dengan penuh seluruh. Tidak memainkannya dari kaki ke kaki, tetapi dari kata ke kata. Buku yang berjudul Goodbye Pele menjadi bukti sahih tentang kegemarannya terhadap sepakbola.
Berbeda dengan buku bertema sepakbola yang lebih membahas jalannya pertandingan, analisis taktik, atau klub tertentu, Eddward justru membahas sesuatu yang jarang diulas oleh penulis olah raga khususnya sepakbola.
Simak tentang tulisan Depresi Para Pemain Sepakbola. Dia melihat bahwa keterkenalan pemain justru menjadi antitesis terhadap mereka. Gary Speed selepas mengisi talkshow bersama Alan Shearer, esoknya ditemukan gantung diri di garasi rumahnya.
Belum lagi, Robert Enke, ialah mantan kiper timnas Jerman yang begitu frustasi ketika anak pertamanya meninggal. Terlebih, sebelum kejadian itu, dia sempat kehilangan posisi inti di Barcelona.
Lihat pula Beitar Trump Jerusalem & La Familia: Klub Sepakbola Paling Rasis, sebuah klub sepakbola Israel yang memiliki prinsip anti-Arab dan membenci muslim. Tak boleh ada pemain yang menjadi bagian dari klub. Yel-yel yang dikemukakan menjurus rasis. Tapi, mereka tak peduli. Seperti sebuah pepatah. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai.
Bagi mereka, slogan “Stop Racism” adalah slogan yang tampak sebagai humor kering yang sama sekali tak lucu. Dan bagi mereka, penambahan kata Trump dalam penamaan klub adalah bentuk penghormatan kepada Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, yang telah mengakui bahwa Jerusalem sebagai ibukota Israel.
Eddward juga menulis, dalam Goodbye Pele, tentang sejumlah peristiwa tentang menarik di dunia sepakbola, misalnya Tragedi Heysel. Hampir semua orang mengira bahwa dengan kata tragedi itu berarti berisi perseteruan, kerusuhan, hingga kekerasan.
Bagi yang melihat dengan kacamata seperti itu, boleh dibilang tepat. Karena memang seperti pertumpahan darah antara suporter Liverpool dengan Juventus dalam perhelatan final Liga Champions 1985.
Namun, yang menarik adalah bagaimana Eddward melihat selepas tragedi Heysel, ada fakta-fakta menarik yang tak diungkap ke publik. Fakta yang membuatnya menuliskan bagaimana duka menjadi laba, tragedi menjadi komoditi.
Tak hanya soal Heysel. Eddward juga mengecek fakta “Benarkah Pele mencetak 1000 gol?”. Kelak, dari tulisan tersebut lahirlah judul buku Goodbye Pele. 1000 gol tersebut seperti menandakan bahwa Pele bukanlah manusia melainkan ‘monster’ dalam dunia sepakbola.
Jika sejumlah peristiwa telah diurai dengan ciamik, tak ketinggalan catatan tangan pelatih coba dia tuliskan dengan epik. Setidaknya ada enam catatan pelatih yang dipilih, yaitu Sir Alex Ferguson, Diego Simeone, Didier Deschamps, Juergen Klopp, Ole Gunnar Solskjaer, dan perbandingan pelatih antara zaman Messi dan Maradona.
Sayangnya, dia tak menulis catatan tangan pelatih AC Milan karena mengingat dia adalah fan berat AC Milan. Tapi, tenang saja, tentang AC Milan, dia menuliskannya dalam bentuk lain. Gennaro Gattuso dan Luther Blisset.
Apakah sebagai fan AC Milan, kamu mengenalnya? Jika belum, cobalah baca buku ini. Buku bertema sepakbola yang perlu kamu koleksi di perpustakaan pribadimu.
Dan tentu saja, buku ini bisa kamu dapatkan di Mojok Store. Toko buku daring kesayangan masyarakat.