Dunia pustaka tanah air memiliki banyak terbitan dengan tema sepak bola. Mulai dari trilogi kumpulan esai karya Sindhunata (Bola-Bola Nasib, Air Mata Bola, dan Bola di Balik Bulan), yang memotret olahraga ini dari kacamata sosiologis dan filsafat, hingga Simulakra Sepak Bola karya Zen R Sugito yang mengupas sepak bola dari sejumlah pendekatan, termasuk sejarah, juga dengan sentuhan narasi pengamatan serta pengalaman alumnus Universitas Negeri Yogyakarta tersebut.
Tentu saja, masih ada banyak buku bertema sepak bola lainnya. Seperti, Sepak Bola 2.0 yang merupakan kumpulan artikel dari dua puluh penulis dengan beraneka rupa perspektif. Ada juga Sepak Bola Seribu Tafsir (Eddward S. Kenndy), Yang Terlupa dari Piala Dunia (Hadi Santoso) dan masih banyak lagi.
Buku-buku tentang sepak bola itu tidak dicetuskan secara sembarangan. Maksudnya, bila ditelaah secara seksama, karya-karya di atas diproduksi melalui tahapan kontemplasi, pengamatan, dan studi literatur yang baik. Sehingga, para pembaca akan merasa ada tambahan wawasan usai membacanya.
Bulan lalu, referensi buku sepak bola kembali bertambah. Seorang wartawan senior yang lama bertugas di kompartemen olahraga, dan pada 2014 lalu bertolak ke Brasil untuk mencicipi atmosfer Piala Dunia berikut menyuguhkan laporannya pada publik, menerbitkan kumpulan artikel berjudul Brasil dalam Semangkuk Feijao. Dialah Tatang Mahardika, rekan satu media Miftakhul Faham Syah, penulis Mencintai Sepak Bola Indonesia meski Kusut dan Persela Menegaskan Identitas Kami.
Tulisan Tatang deskriptif dan kaya dengan pembendaharaan kata. Kadang kala, tersirat gaya-gaya Catatan Pinggir, meskipun tentu ulasan Goenawan Mohamad jauh lebih kompleks dan rumit. Sedangkan Tatang, tampak konsisten dengan gairah untuk menghibur dengan tetap mengedepankan data, fakta, dan analisis yang brilian.
Buku ini mendekati sepak bola melalui sudut pandang human interest, menghubung-hubungkan olahraga ini dengan keseharian masyarakat dan sejarah kemanusiaan setempat. Tercermin dari judulnya, “setting” dominan dari buku ini adalah negeri Samba, tempat jurnalis Jawa Pos ini meraup inspirasi dan informasi faktual guna merampungkan buku tersebut.
Meski menjadikan Brasil dan sepak bola sebagai materi pokok, Tatang piawai menjaga kedekatan dengan naluri keindonesiaan para pembaca. Misalnya, tatkala pria asal Mojokerto ini menampilkan kisah-kisah perantau yang sudah lama bermukim di dataran tropis benua Amerika itu melalui “Nasi Goreng di Mogi das Cruzes” (halaman 73) dan “Jalan Sepak Bola Romo Ferdinand Doren” (halaman 83).
Sedangkan dalam artikel “Brasil dalam Semangkuk Feijao” (halaman 57), Tatang mengemukakan betapa level sosial sup kacang hitam alias Feijao sudah melonjak naik dibandingkan lima abad yang silam. Dahulu kala, makanan itu hanya disantap oleh budak kulit hitam. Namun kini, semua orang dari beragam latar belakang, melahap dan rela antre panjang untuk mendapatkannya. Bahkan, Feijao sudah menjadi semacam identitas nasional. Hingga ada yang berujar, “Belum ke Brasil kalau belum menyantap Feijao”.
Yang jelas, buku ini cocok menjadi “kudapan” di sela-sela menonton Piala Dunia 2018. Wawasan baru yang dibagikan cukup menyegarkan dan menyenangkan sehingga tidak berat untuk dicerna mereka yang awam sekalipun. Penyampaian yang lugas disertai penggambaran suasana, membuat imajinasi pembaca melayang hingga belahan bumi yang konon, mengultuskan sepak bola semutlak agama tersebut.
*Peresensi, Rio F. Rachman, Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Koordinator Divkominfo Mata Garuda
Artikel ini pertama kali dipublikasikan pada Koran Jakarta.