Brasil adalah sepak bola. Tapi, Brasil dalam Semangkuk Feijao juga membawa pembaca untuk mengenal Negeri Samba itu dari berbagai sisi kebinekaan dan kultur keseharian.
BRASIL dalam Semangkuk Feijao merupakan hasil reportase wartawan Jawa Pos Tatang Mahardika di Brasil empat tahun silam. Tatang memotret persiapan negara terluas di Amerika Latin itu menjelang Piala Dunia 2014 dengan mengunjungi sepuluh kota pada periode akhir Februari sampai pertengahan April.
Tatang membagi buku ini ke dalam tiga subtema agar memudahkan pembaca menikmati Brasil. Yakni, Futebol, Multicultura dan Caipirinha.
Futebol menghadirkan 17 tulisan tentang sepak bola Brasil. Kemudian, Multicultura menyodorkan 14 artikel soal kebinekaan yang berakar kuat di Brasil. Dan, 21 tulisan lainnya ada di Caipirinha yang bertutur mengenai kekhasan Brasil. Seperti karnaval Rio de Janeiro, favela dan tentu saja amboinya pantai-pantai Brasil.
Dalam Futebol, Tatang menarasikan dengan kuat bagaimana, seperti juga tertanam dalam benak banyak orang, sepak bola adalah Brasil, Brasil adalah sepak bola. Meski Inggris sebenarnya mengklaim bahwa dunia berutang kepada mereka atas olahraga terpopuler sejagat tersebut.
Misalnya dalam Obrigado Socrates, Por Voce Ter Vivido (halaman 3). Tatang mendeskripsikan cara salah satu klub Brasil Corinthians menghargai para pesepak bolanya serupa dengan penghormatan yang dilakukan Indonesia atas para pahlawannya. Terutama kepada keberanian Socrates dkk dalam menghadapi rezim militer yang berkuasa kala itu.
Ada semacam memorial hall yang tak cuma untuk menjual merchandise. Tapi, untuk merawat ingatan kepada sejarah panjang klub dan para pemain mereka.
Pada level timnas, Brasil pun memiliki museum yang menunjukkan kesuksesan mereka (halaman 15). Pele adalah satu di antara sekian ”pahlawan” sepak bola yang menjadi simbol sepak bola Brasil.
Kalau ditarik upaya merawat ingatan kolektif warga Brasil akan sepak bola, Indonesia sebetulnya sudah mencoba melakukannya. Indonesia punya Museum PSSI di area Stadion Mandala Krida, Jogja. Tapi, ketika saya berkunjung ke museum yang dibuka pada 2015 itu, kondisinya memprihatinkan.
Saya menemukan museum dalam kondisi berdebu, kusam tak terawat dan kaca jendela pecah di beberapa titik. Juga, tentu tak bisa diakses karena entah siapa yang memegang kunci. Padahal, saat itu, awal Juli lalu, saya berkunjung bukan di akhir pekan dan waktu menunjukkan sekitar pukul 11.00 WIB.
Satu Keluarga, Tiga Klub Berbeda (halaman 29) juga membawa kita pada bagaimana pluralnya pilihan satu keluarga Brasil soal klub yang didukung. Sebagaimana pula pluralnya latar belakang warga salah satu negeri dengan wilayah daratan terluas di dunia itu.
Di Multicultura, Tatang membukanya dengan judul buku ini: Brasil dalam Semangkuk Feijao (halaman 57). Feijao yang sesungguhnya lambang kelas proletar. Tapi, berhasil melakukan diplomasi kuliner untuk mobilitas sosial.
Feijao, sup kacang hitam, pun tidak lagi hanya cocok di lidah kaum papa. Tak seperti kondisi empat abad sebelumnya, menu orang berpunya pun kini kurang lengkap kalau tidak ada feijao di meja.
Pada tema terakhir, Caipirinha, Tatang menyodorkan Brasil dalam banyak wajah. Ada gairah rakyat Brasil yang meluap di Mari Berpesta di Karnaval Rio (halaman 128), kemudian lorong-lorong sempit favela yang malah menjadi benteng para bandar narkoba di Wilayah Perdikan Bernama Favela (halaman 116).
Sayangnya, sebagai pembaca buku, saya menemukan beberapa ketidaknyamanan. Misalnya, hilangnya tanda baca (halaman 57) atau salah penempatan titik untuk menentukan waktu (halaman 68). Dan, itu tidak hanya satu atau dua kali terjadi.
Di luar kesalahan-kesalahan kecil itu, buku ini sangat enak dibaca. Gaya reportase renyah Tatang membuat kita bisa merasakan bagaimana dekatnya Brasil dengan Indonesia dalam banyak hal. (*)
***
Pertama kali dipublikasikan oleh Radar Tasikmalaya, pada 29 Agustus 2018. Ditulis oleh Diar Candra, Wartawan Jawa Pos.